Beranda | Artikel
Tidak Boleh Berdamai di Atas Kezaliman
Rabu, 23 Januari 2019

Bismillah.

Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari dua orang Sahabat; yaitu Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid al-Juhani radhiyallahu’anhuma, dimana mereka berdua mengisahkan bahwa suatu ketika ada seorang arab badui datang menemui Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sang arab badui itu berkata, “Wahai Rasulullah, berikanlah keputusan hukum diantara kami ini dengan Kitabullah.” Lantas lawannya mengatakan, “Dia berkata benar, hendaklah anda berikan putusan kepada kami dengan Kitabullah.”

Sang arab badui pun bercerita, “Sesungguhnya anak lelaki saya bekerja sebagai pegawai kepada orang ini. Ternyata dia (anak saya) justru berbuat zina dengan istrinya. Mereka -orang-orang itu- mengatakan kepada saya, ‘Anakmu harus dihukum rajam’ maka saya pun menebus anak saya dari mereka dengan menyerahkan 100 ekor kambing dan seorang budak wanita. Kemudian setelah itu saya bertanya kepada ahli ilmu, mereka mengatakan kepada saya; Sesungguhnya hukuman atas anakmu adalah dengan dicambuk 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Benar-benar akan Aku berikan keputusan hukum diantara kalian berdua dengan Kitabullah. Adapun budak wanita dan kambing-kambing itu harus dikembalikan kepadamu, sedangkan hukuman bagi anakmu dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun. Adapun engkau, wahai Unais -beliau berkata kepada seorang pria dari kalangan Sahabat- hendaklah kamu temui wanita itu lalu terapkan hukum rajam atasnya.”

Unais pun menemui wanita itu dan dia mengakui perbuatannya, maka setelah itu diterapkanlah hukum rajam kepadanya. Hadits ini dicantumkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab ash-Shulh (perdamaian) hadits no. 2695 dan 2696 (lihat Fath al-Bari, 5/370)  

Imam Bukhari memberi judul untuk hadits di atas ‘Bab; Apabila orang-orang berdamai di atas perdamaian yang zalim/aniaya maka hal itu tertolak/tidak diterima’. Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah menjelaskan bahwa maksud bab ini adalah penegasan bahwa apabila suatu kesepakatan perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai dilakukan dengan dasar tindakan aniaya alias menyelisihi syari’at maka hal itu adalah batil dan tidak boleh dilaksanakan. Karena salah satu syarat berdamai apabila hal itu -syarat/kesepakatannya- merupakan perkara yang diperbolehkan di dalam syari’at (lihat Min-hatul Malik al-Jalil, 5/560)

Koreksi Terjemah Hadits :

Disebutkan dalam buku terjemah berjudul ‘Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi’ (penerbit Media Hidayah, cetakan ke-5) bagian hadits dari kalimat berbahasa arab yang berbunyi ‘al-walidah wal ghonam raddun ‘alaik’ diartikan dengan, “Unta dan kambing itu dikembalikan kepadamu.” (hlm. 77). Setelah kami periksa dalam penjelasan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi ternyata dijelaskan bahwa yang dimaksud ‘al-walidah’ atau anak wanita di sini adalah ‘amah’ yaitu seorang budak wanita, sehingga penerjemahan ‘al-walidah’ dengan ‘unta’ di sini tidak tepat.

Sumber Gambar : Toko-Muslim.com

Berikut ini terjemah penjelasan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi berkaitan dengan makna hadits di atas, “Maksudnya mereka berdua -pihak yang bertikai dalam kasus tersebut, pent- berdamai antara dia -ayahnya sang anak, pent- dengan pihak suami dari perempuan itu. Maka dia pun memberikan kepadanya 100 ekor kambing dan ‘walidah’/anak wanita yaitu ‘seorang budak perempuan’ sebagai tebusan atas kejahatan itu dan memaafkan kesalahannya.” (lihat Min-hatul Malik, 5/561) 

Masih pada buku terjemah yang sama (hlm. 77) ketika menerjemahkan hadits tersebut dari bagian kalimat berbahasa arab yang berbunyi ‘inna ibni kaana ‘asiifan ‘ala hadza’ pada buku tersebut diartikan, “Sesungguhnya anakku berbuat sewenang-wenang kepada orang ini…” Setelah kami periksa dalam penjelasan Imam Nawawi dalam Syarh Muslim-nya, beliau menjelaskan, bahwa yang dimaksud kata ‘asiif’ dalam hadits ini bermakna ‘ajiir’ yang artinya pekerja atau pegawai (lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, 11/206 cet. al-Azhar). Sehingga makna kalimat berbunyi ‘inna ibni kaana ‘asiifan ‘ala hadza’ yang lebih tepat adalah, “Sesungguhnya anakku dahulu bekerja kepada orang ini…” Demikian pula penafsiran hadits ini sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi dalam kitabnya Min-hatul Malik al-Jalil (5/560). Semoga Allah memberikan balasan terbaik kepada para ulama kita dan memaafkan kekeliruan penerjemahan yang terdapat dalam buku tersebut, kepada Allah pula kita mohon ampun atas segala kesalahan…

Oleh sebab itu, dalam menjelaskan kandungan hadits tersebut Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi memberikan contoh makna ‘asiif atau ajiir/pegawai dengan bentuk pekerjaan sebagai pembantu atau sopir dan karyawan. Ketika beliau menjelaskan maksud dari kalimat hadits tersebut ‘fa zana bi imra’atihi’ yang artinya, “Maka dia -sang anak itu- pun berzina dengan istri majikannya.” Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi menyampaikan nasihat, “Dari sini bisa dipetik pelajaran bahwa hendaknya berhati-hati terhadap para karyawan dan pembantu…” dst (lihat Min-hatul Malik, 5/560 dst)

Faidah Hadits dan Kisah Tersebut :

Diantara pelajaran berharga yang tersimpan dalam hadits ini adalah bolehnya meminta fatwa kepada selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa beliau masih hidup; hal itu ditunjukkan oleh sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mengingkari perbuatan sang arab badui yang bertanya tentang masalah itu kepada ahli ilmu -selain Nabi, pent-. Selain itu, Imam Nawawi juga menerangkan bahwa hadits ini memberikan pelajaran tentang bolehnya meminta fatwa/keterangan hukum agama kepada orang yang mafdhul/kurang utama walaupun pada saat itu ada orang lain yang lebih utama/afdhal darinya (lihat al-Minhaj, 11/206-207)

Hadits ini juga memberikan pelajaran bahwa suatu barang yang diambil dari hasil akad/transaksi yang fasid/tidak sah maka wajib untuk dikembalikan kepada pemiliknya dan tidak menjadi hak milik pembeli atau penerimanya, demikian sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah dalam Fathul Qawil Matin (lihat Kutub wa Rasa-il Abdil Muhsin, 3/114)

Hadits ini juga menunjukkan bahwa hukum hadd/hudud semacam rajam untuk pezina yang sudah menikah atau hukum cambuk 100 kali dan diasingkan dari negerinya selama setahun bagi pezina yang belum menikah diberlakukan oleh pemerintah atau petugas yang ditunjuk oleh pemerintah. Yang demikian itu disebabkan hadd adalah hukuman yang telah ditetapkan oleh syari’at sehingga tidak boleh menanganinya selain imam terbesar/khalifah atau wakilnya seperti amir/raja, qadhi/hakim atau yang diberi tugas untuk menggantikan mereka. Mereka itulah yang berwenang untuk memotong tangan pencuri, merajam pezina, dsb (lihat Ib-hajul Mu’minin, 2/387)

Hadits di atas juga memberikan pelajaran kepada kita tentang kesempurnaan syari’at Islam; bahwa Islam telah mengatur hukum diantara manusia demi tegaknya keadilan dan memberantas kezaliman. Daintara kaidah penting yang harus diyakini adalah bahwa umat Islam wajib berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu Allah memerintahkan kita untuk kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah. Allah berfirman (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara hendaklah kalian kembalikan kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.” (an-Nisaa’ : 59)

Kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah tidak akan bisa terwujud apabila kaum muslimin jauh dari ilmu agama dan terpisah dari bimbingan para ulamanya. Setiap muslim wajib untuk mempelajari agamanya yang dengan itu mereka bisa menunaikan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka bagaimana mungkin umat ini akan berjaya apabila mereka dipisahkan dari Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam?   


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/tidak-boleh-berdamai-di-atas-kezaliman/